....selesai menempuh perjalanan yang lumayan dirasakan
oleh kaki. Telah sampai di tempat tujuan pengabdian, Pondok Pesantren Al Ihsan.
Tempat dimana diriku menuntut ilmu selama tiga tahun lamanya, lulus kemudian
hijrah dan saat ini kembali untuk mengabdi. Hari pertama kedatangan diawali
diskusi dan obrolan santai dengan siswa kelas XII karena kelasnya dibelakang
dan saya masuk pondok melalui jalur belakang. Setelah obrolan yang lumayan
lama, saya melewati rumah kyai dan kemudian dipanggil oleh Kyai Pondok.
Menghadap beliau merupakan hal yang sangat jarang dilakukan, karena rasa segan
dan sungkan. Awal penyampaian dari kyai merupakan nasehat awal untuk menjadi
guru atau untuk mengabdi di pondok. Status kini telah berubah, yang dulu
santri, lulus menjadi alumni, kembali kemudian mengabdi, menjadi ustadz yang
tak abadi. Setelah menghadap kyai, melanjutkan urusan menghadap kepala sekolah.
Setelah mendapat izin, maka kembali ke villa qur’an tepatnya kelas X C untuk
melakukan sit in class pertama di pelajaran matematika. Alhamdulillah, guru
matematika yang dulu tak berganti hingga saat ini, masih tetap guru yang sama,
guru yang kukenal. Setelah sit in pertama, agenda selanjutnya adalah mengatur
ulang jadwal, karena tak mungkin dengan kondisi sekolah yang baru mampu
memenuhi kebutuhan sit in hingga delapan kali pertemuan. Terlebih lagi, guru
pamong matematika yang ada hanya mengajar kelas X, dengan total 2 kelas. Guru
pamong matematika yang mengajar di kelas XI dan XII, Alhamdulillah memiliki
momongan baru sehingga beliau ijin hingga bulan februari mendatang. Maka dari
itu, tak mungkin sit in class kali ini bisa berjalan dengan mulus. Kendala itu
pasti ada.
Berpikir
hanya untuk sit in tidak akan menuntaskan amanah yang lain, memikirkan mengajar
Al Qur’an di pondok harus direncanakan. Alhamdulillah program di pondok untuk
upaya mempelajari Al Qur’an menggunakan metode ummi. Metode Ummi dimulai dari
hari senin hingga hari kamis. Itupun tidak semuanya berjalan lancar, dikarenakan
kondisi pondok yang masih baru. Alhamdulillah, amanah untuk mengajar di TPQ
dapat dialihkan jika di pondok pesantren. Jika di pesantren ibarat sekolah dan
TPQ dijadikan satu, semuanya lengkap walaupun jadwal masih fleksibel.
Hari kamis malam yang saharusnya ada metode ummi, diganti dengan pembacaan
surat yasin secara berjama’ah. Yasinan dilakukan juga merupakan tradisi pondok
pesantren di setiap malam jum’at. Kebetulan yasinan dihari itu ustadz
memberikan amanah untuk memimpin pembacaan surat Yasin. Hal tersebut merupakan
suatu kehormatan tersendiri. Walaupun muncul sedikit rasa khawatir akan
pemenuhan mengajar ngaji selama enam kali pertemuan.
Hari
hari berjalan seperti biasanya, sebagaimana dulu ketika masih di pesantren.
Masih sama dan tidak banyak yang berubah. Diskusi dengan salah satu ustadz tak
jarang dilakukan, ketika masih nyantri maupun ketika menjadi alumni.
Diskusi berbagai macam permasalahan yang terjadi di pesantren. Urusan sehari
hari, seperti shalat berjama’ah menjadi acuan berbagai macam kegiatan. Jika
shalat berjama’ahnya berjalan baik, maka agenda yang lain akan mengikuti.
Alhamdulillah, dulu ketika di pondok pesantren merupakan angkatan awal
(angkatan 2) yang memiliki kontribusi penetapan sistem. Babat Alas istilah
kerennya. Menjadi perintis, menjadi lumut, menjadi pondasi atas segala hal.
Dulu, kami bisa dikatakan lumayan sukses dalam memperbaiki shalat berjama’ah di
masjid. Berbagai cara dilakukan, tapi hal itu satu persatu hilang ketika
perintis telah lulus. Entah........ (bersambung)
Komentar
Posting Komentar